Halaman

Jumat, 30 Juni 2017

Antara Brand, Selebriti, dan Komunitas Dunia Maya

Kalau mendengar kata “selebriti”, sebagian besar dari kita pastinya akan teringat dengan sederet nama-nama tenar dengan penampilan fisik menawan, kaya raya, punya segudang prestasi dan kerap wara wiri di berbagai media konvensial, seperti koran, majalah, dan televisi.

Namun, sejak masuknya era internet disertai dengan pesatnya perkembangan berbagai media sosial, belakangan kita pun mulai akrab dengan berbagai istilah selebriti dadakan, sebut saja, seleblogselebtwit, (twitter) dan yang masih cukup fenomenal saat ini adalah keberadaan para selebgram (selebriti instagram) di jejaring sosial berbasis fotografi instagram.

Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang jarang tampil di media konvensial, bahkan identitas sang pemilik akun pun cenderung misterius, namun ajaibnya memiliki jumlah followers yang cukup fantatis. Sebagian lagi, memang benar-benar selebriti, seperti artis pemain sinetron atau FTV, musisi, dan presenter televisi yang namanya sudah tak asing.
Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah brand atau penjual online untuk meminta endorse (dukungan) kepada para selebgram tersebut atas produk-produk yang dijual.
Berdasarkan mesin pencari, saya menemukan definisi celebrity endorser menurut McCracken yakni “any individual who enjoys public recognition and who uses this recognition on behalf of  a consumer good by appearing with it in an advertisement” (1989:310).
Artinya, dalam dunia bisnis dan periklanan, peran selebriti sebagai ikon atau endorser  yang dianggap bisa mewakili sebuah brand atau produk tertentu untuk menarik minat calon konsumen bukanlah sebuah hal baru. Lantas, menjadi menarik memang, jika media sosial yang ada saat ini bisa melahirkan para seleb dadakan, yang namanya saja baru saya dengar dalam hitungan hari, tetapi justru merekalah para King of Endorse  tersebut.
Sebagai orang yang baru saja merintis bisnis online dalam hitungan bulan, saya merasa tertarik mengamati berbagai perilaku para selebriti endorser ini. Sejak tahun 2012 lalu, di media sosial Twitter, kita semua juga mengenal istilah “Buzzer” yang juga dimanfaatkan para pemilik brand  atau merk bisnis untuk mempromosikan sebuah produk.
Para buzzer ini pun beragam macamnya, ada yang berbentuk resmi badan usaha yang dikelola profesional dengan tarif menjulang untuk ketentuan beberapa kali twit, ada juga yang bentuknya perseorangan, bisa selebriti yang sudah dikenal atau lagi-lagi akun anonim dengan puluhan ribu followers.
Tentunya, ketentuan tarif tersebut sangat tergantung dengan banyaknya followers yang dimiliki si akun buzzer dan target pasarnya. Semakin spesifik target pasar, tentu semakin tinggi biaya yang harus ditanggung pemilik brand  atau merk bisnis.
Nah, beda twitter, lain instagram. Meskipun, memiliki kesamaan dalam fitur tertentu, berbisnis melalui instagram saat ini dianggap sebagian orang lebih nyaman dilakukan. Lantaran, foto produk yang di-upload langsung mengena di mata para followers, hal ini agak berbeda dengan twitter yang lebih menonjolkan aspek pesan teks.
Selain itu, kalau buzzer di twitter termasuk promosi berbayar, agak lain dengan cara endorse melalui seleb di instagram. Para penjual online hanya perlu memberi produk secara gratis pada seleb biasanya produk perempuan, seperti pakaian, tas, sepatu, aksesoris, seprei, casing hp, kosmetik, hingga makanan.
Setelah itu, para seleb dengan puluhan ribu followers ini akan melakukan posting foto dirinya yang tengah memakai produk tersebut diikuti kalimat sekedar basa basi misal “Hari ini aku pakai atau dapat gift blabla dari @blabla. Thanks yah @blabla, recommended” :)
Namun, saat ini, ada juga selebgram yang mulai memberlakukan sistem kontrak dan paid promote dengan beberapa penjual atau toko online.
Pembahasan soal King of Endorse alias para selebgram ini, sebetulnya mencakup banyak hal menarik di dalamnya. Contoh, dari mulai akun komentar milik para selebgram yang banyak dipenuhi spam di mana para penjual online sering kali mempromosikan produknya, banjir permintaan endorse, hingga perdebatan kecil di antara para followers selebgram mengenai etika endorse produk replika alias palsu atau bajakan.

Saya juga memiliki akun di salah satu forum media online khusus perempuan yang membahas topik-topik tertentu, di antaranya ada curhatan para penjual online mengenai perilaku para artis baik yang sudah terkenal maupun para selebgram ini.
Dalam forum itu, para penjual online ini pun berbagi daftar nama artis atau selebgram yang dianggap kooperatif, cepat merespon, maupun si pemberi harapan palsu. Sebagian penjual online, juga merekomendasikan nama-nama selebgram tertentu yang dianggap ampuh memberi dampak positif terhadap penjualan produk dan penambahan followers akun bisnis.
Sebagian lain, juga mewanti-wanti agar tidak menggunakan jasa selebgram yang kurang kooperatif, misal dari mulai respon pesan yang lama hingga tidak mem-posting foto dalam jangka waktu bulanan bahkan setahun, padahal produk sudah dikirimkan seller ke alamat sang seleb.
Dan, belum lekang mengenai fenomena endorse dan selebgram, saat ini muncul lagi istilah SFS di instagram, ada yang tahu?
Ya, cara SFS atau shoutout for shoutout  alias barter promo belakangan terakhir juga marak dilakukan para penjual online di instagram. Jenis barter promo ini dinilai sebagian toko online lebih baik dibandingkan sistem endorse. Jenisnya ada 4 yakni,  SFS personal, SFS familiy, SFS arisan, dan SFS marathon. Untuk jenis tiga yang terakhir, bentuknya memang semacam komunitas yang anggotanya dari mulai lima hingga puluhan penjual online.
Berikut perbedaan masing-masing jenis SFS ini, dari mulai yang personal berarti kita hanya berhubungan dengan satu penjual online, aturannya dalam sehari, kita mempromosikan produk dia, begitu pula sebaliknya. Ada lagi SFS famili, yang terdiri dari beberapa sampai puluhan penjual online di mana masing-masing akan mempromosikan produk (melalui postingan) dari para penjual online lainnya, begitu sebaliknya.
Sedangkan, SFS arisan atau keliling merupakan jenis barter promo di mana dalam sehari, produk dari satu penjual online akan dipromosikan oleh anggota lain. Misalnya, ada lima anggota dalam kelompok, maka ke-empat anggota wajib melakukan posting promosi produk satu penjual online tersebut, begitu seterusnya sampai semua anggota mendapat kesempatan sama.
Satu lagi, SFS marathon, di mana dalam setiap jam, para anggota mem-posting produk satu penjual online, jadi kalau dalam grup ada lima anggota, maka setiap jam kita harus posting masing-masing produk, dengan waktu yang ditentukan, misalnya jam 13.00-17.00 sore.
Tujuannya, tidak jauh beda dengan endorse melalui selebgram, yakni menambah followers dan menaikkan penjualan. So, more followers, more customers, begitu kira-kira prinsip yang dipegang para penjual online, dan mungkin  memang begitu logikanya.
Sebelum, ramai soal komunitas SFS di instagram, kita pun sebenarnya sudah lebih dulu mengetahui eksistensi berbagai komunitas dunia maya lainnya melalui forum jual beli online.
Tapi, sekali lagi, apapun cara atau strategi yang kita gunakan untuk meningkatkan penjualan, akan kembali lagi pada kualitas baik produk, etika, pelayanan, target konsumen serta manfaat yang diperoleh konsumen. Semua cara akan sia-sia dilakukan, jika kita sendiri lupa pada hakikat dan tujuan bisnis itu sendiri.
Terlepas dari beragam fenomena baru itu, bahkan di tengah tantangan serbuan produk asing, baik legal maupun ilegal, serta ancaman persaingan pasar bebas, agaknya para pebisnis online perlu bernapas lega jika melihat beberapa fakta berikut.
Data berbagai media massa menyebut, saat ini pertumbuhan kelas menengah dengan pengeluaran lebih dari 130 triliun per bulannya di Indonesia mencapai 130 juta orang, pengguna internet yang lebih dari 70 juta orang, dan diperkirakan akan terus bertambah. Belum lagi, geliat brand dan produk lokal, misalnya di sektor kuliner dan fesyen yang makin diminati calon konsumen kelas menengah.
Dengan begitu, melakukan bisnis atau investasi di Indonesia saat ini bisa diibaratkan sama dengan bermain layangan di angin yang sedang tertiup kencang. Kondisi tersebut tentu tidak akan berlangsung abadi.
Para ekonom memperkirakan pertumbuhan penduduk usia produktif yang cenderung konsumtif atau disebut bonus demografi di Indonesia hanya akan terjadi sampai sekitar 15 tahun ke depan, tepatnya akan berakhir pada tahun 2030. Setelah itu, kemungkinan pertumbuhan negara kita akan berlangsung flat, seperti halnya kondisi ekonomi AS atau Eropa sekarang.
So, siapa yang mau memanfaatkan peluang di Tanah Air, kalau bukan kita sendiri?
Selamat berbisnis kawan! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar